I.
PENDAHULUAN
Bahasa menjadi ciri identitas satu
bangsa. Melalui bahasa, orang dapat mengidentifikasi kelompok masyarakat,
bahkan dapat mengenali perilaku dan kepribadian masyarakat penuturnya. Oleh
karena itu, masalah kebahasaan tidak terlepas dari kehidupan masyarakat bahasa
Indonesia, telah terjadi berbagai perubahan, terutama yang berkaitan dengan
tatanan baru kehidupan dunia dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi,
khususnya teknologi informasi, yang semakin sarat dengan tuntutan dan tantangan
globalisasi.[1]
Bahasa merupakan bagian dari
kehidupan masyarakat penuturnya. Bagi masyarakat Indonesia, Bahasa Indonesia
mempunyai kedudukan dan fungsi di dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia.[2]
Era globalisasi menuntut orang harus
menguasai ilmu dan teknologi serta teknologi informasi dan komunikasi (TIK),
khususnya kalangan generasi muda. Orientasi pendidikan pun ditujukan pada
penguasaan ilmu dan teknologi serta TIK. Untuk itu bahasa Indonesia, memegang
peranan penting. Disamping sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan
pendidikan, Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa ilmu dan teknologi serta
TIK. Penguasaan bahasa ndonesia akan memperlancar pencapaian tujuan pendidikan
dan penguasaan ilmu, teknologi, seni, serta TIK.[3]
Menyebarluaskan informasi apapun tetentu
memerlukan sarana untuk menyampaikannya. Tanpa sarana untuk menyampaikan,
informasi tidak akan dapat disebarluaskan. Manusia memerlukan alat untuk
mengungkapkan informasi yang ada di dalam pemikirannya, baik berupa ide,
aspirasi, inspirasi, pendapat, gagasan, hasil kreasi seni, budaya, religi, dan
teknologi, hipotesis hasil penemuan atau penelitian, baik bersifat ilmiah
maupun non ilmiah.
Dalam hal penyampaian informasi inilah, bahasa memegang peranan penting.
Dapatkah kita bayangkan apabila segala jenis informasi tersebut hanya dibantu
isyarat atau simbol-simbol saja dalam menyebarluaskannya. Kalau hal itu terjadi
maka pearadaban manusia tentu tidak akan sepesat ini perkembangannya.[4]
Pada pertemuan kali ini, kita akan membahas
komposisi atau bisa disebut dengan kata majemuk. Pada pembahasan ini
dibicarakan kalimat yang terdiri atas dua dasar atau lebih. Di dalam kenyataan
penggunaan bahasa, kalimat-kalimat yang kita gunakan tidak selamanya berupa
kalimat tunggal. Adakalanya, demi keefisienan, orang menggabungkan beberapa
pernyataan ke dalam satu kalimat. Akibat penggabungan itu lahirlah struktur
kalimat yang di dalamnya terdapat beberapa kalimat dasar. Struktur kalimat yang
di dalamnya terdapat dua kalimat dasar atau lebih disebut kalimat majemuk.[5]
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dari makalah ini
adalah:
1. Apa yang dimaksud dengan Komposisi?
2. Apa Ciri dari Kata Majemuk?
3.
Apa
saja JenisKata
Majemuk?
III. PEMBAHASAN
1.
Komposisi
Komposisi adalah perpaduan dua
kata menjadi satu kata baru, seperti kata gudang garam, basah kuyup dan lain
sebagainya. Bila kata ini dipisahkan, bukan kata majemuk.
Contoh
kata majemuk;
PT. Gudang Garam memproduksi rokok
berada di Kota Kediri.
Contoh
bukan kata majemuk;
Garam ini produksi petani Rembang.[6]
Dendy Sugono, dalam bukunya yang
berjudul “Buku Praktis Bahasa Indonesia” disebutkan, komposisi adalah bentuk
pengungkapan gagasan berupa gubahan yang tercermin dalam susunan beberapa
kalimat. Sebuah komposisi dapat terbentuk hanya dalam satu untaian kalimat dan
dapat pula berupa rangkaian kalimat. Untaian kalimat yang mencerminkan satu
gagasan yang padu membangun satu paragraf atau alenia. Skripsi, makalah, berita
di koran, pidato, dan surat adalah contoh komposisi. Karya sastra yang berupa
sajak, cerpen, dan novel pun merupakan komposisi. Paragaraf pada sajak dikenal
dengan istilah bait.[7]
Masnur Muslich mengatakan, yang
dimaksud dengan proses pemajemukan atau komposisi adalah peristiwa bergabungnya
dua morfem dasar atau lebih secara padu dan menimbulkan arti yang relatif baru.
Hasil proses ini disebut bentuk majemuk. Misalnya kamar tidur, buku tulis,
kaki tangan, keras kepala, mata air, sapu tangan, dan simpang siur. Bentuk-bentuk
majemuk itu masing-masing terdiri atas perpaduan bentuk dasar kamardan
tidur, bukudan tulis, kakidan tangan, kerasdan kepala,
matadan air, sapudan tangan, serta simpangdan siur.[8]
Sedangkan menurut Suhardi, proses
pemajemukan atau komposisi adalah proseses pembentukan kata-kata menjadi kata
majemuk. Ramlan menyatakan bahwa setiap gabungan dengan pokok kata merupakan
kata majemuk.
Seperti;
a.
Gabungan
kata dan pokok kata
Contoh:
1)
Kolam
renang
2)
Pasukan
tempur
3)
Barisan
tempur
4)
Medan
tempur
5)
Brigade
tempur
6)
Daya
tempur dan lain sebagaianya
b.
Gabungan
pokok kata dan pokok kata
Contoh:
1)
Terima
kasih
2)
Lomba
lari
3)
Lomba
masak
4)
Lomba
lawak
5)
Lomba
tembak
6)
Simpan
pinjam dan lain sebagainya.[9]
2.
Ciri Kata Majemuk
Ciri-ciri bentuk majemuk ini
dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari sifat konstruksinya dan sifat unsurnya.
Dilihat dari sifat konstruksinya, bentuk manjemuk tergolong konstruksi pekat.
Karena kepekatannya itu, antara unsur-unsurnya tidak dapat disisipi bentuk atau
unsur lain, baik dengan yang (sebagaimana konstruksi atributif pada
frase), dan (sebagaimana konstruksi koordinatif pada frase), maupun
dengan nya atau milik (sebagaimana konstruksi posesif pada
frase). Disamping itu, kepekatan itu terlihat adanya perlakuan terhadap
unsur-unsurnya yang dianggap sebagai satu kesatuan bentuk. Buktinya, apabila
mendapatkan atau bergabung dengna afiks, ia diperlakukan sebagai satu bentuk
dasar (yang unsur-unsurnya tidak terpisah). Misalnya, apabila afiks {meN-kan}
bergabung dengan bentuk dasar hancur lebur, menjadi menghancur leburkan,
tetapi bukan *menghancur lebur atau * hancur meleburkan. Begitu
juga untuk bentuk tanggung jawab, tinggal landas, daya guna, dan
sebagainya.[10]
Tentang dapat tidaknya
disisipi bentuk lain di antara unsur-unsur majemuk itu, sementara orang
berpendapat bahwa antara rumah dengan makan misalnya, dapat
disisipi bentuk untuk sehingga menjadi rumah untuk makan. Dengan
begini, timbul dua pendapat:
1.
Tidak
dapatnya disisipi bentuk lain di antara unsur-unsur majemuk bukanlah ciri tegas
bentuk majemuk (sebab ternyata rumah makan, yang selama ini disebut
orang sebagai kata majemuk, bias disisipi bentuk lain, misalnya untuk);
2.
Bentuk-bentuk
semacam rumah makan bukanlah kata majemuk dengan bukti bahwa di antara
unsur-unsur itu masih bisa disisipi unsur lain.
Dalam hal ini yang tidak
kalah pentingnya untuk diperhatiakan adalah persoalan arti bentuk majemuk yang
bersangkutan. Sekarang, mesti dijawab: “samakah arti rumah makan dengan rumah
untuk makan?”. Jika kita membatasi pengertian rumah makan sebagai ‘rumah
(yang dipergunakan) untuk makan’, dengan segera kita menganggap bahwa arti
kedua bentuk itu sama, sama-sama rujukannya (refrensinya). Akan tetapi, yang
juga penting untuk dijawab: “Apakah setiap rumah yang dipergunakan untuk makan
bisa langsung disebut rumah makan?” kiranya jelas bahwa arti rumah
makan bisa dipahami dengan menunjukkan refrensinya, yaitu restoran, depot,
kafetaria, atau yang lain; jadi, tidak asal rumah yang dipakai sebagai tempat
makan bisa disebut rumah makan. Dengan begitu, teranglah, arti rumah
makan tidak sama dengan arti rumah untuk makan.Begitulah, arti kamar
mandi, tidak sama dengan kamar untuk mandi, meskipun suatu kamar
mandi memang dipergunakan untuk mandi. (dalam keadaan darurat, karena kamar
mandinya rusak atau sedang diperbaiki, gudang yang “nganggur” bisa ditempati
ember besar berisi air, lengkap dengan gayung, sabun, sikat gigi, dan
selanjutnya dipakai sebagai tempat untuk mandi; meski begitu, kamar gudang tadi
bukanlah kamar mandi).[11]
Bentuk-bentuk majemuk
tertentu mudah sekali dikenal sebab artinya memang benar-benar “berbeda”, atau
sama sekali tak berhubungan dengan arti dari setiap unsur pembentuknya. Atau,
seperti dikatakan oleh Sudaryanto dalam Linguistik (1983: 208), arti
konstruksi majemuk itu “tidak wajar” dan menyeleweng”. Contohnya dalam hal ini
adalah kambing hitam, yang sama sekali tidak berhubungan makna dengan kambing
dan hitam; begitu juga meja hijau, gulung tikar, polisi tidur,
raja singa, yang artinya masing-masing benar-benar tidak berurusan dengan meja
dan hijau, gulung dan tikar, polisi dan tidur,
serta raja dan singa.[12]
Sifat konstruksi lainnya
adalah konstruksi bentuk majemuk tetap. Maksudnya, konstruksinya tidak dapat
dipertukarkan. Jadi, kalau konstruksinya itu berupa KB+KK, misalnya, dalam kamar
tidur, meja tulis; konstruksi itu tidak dapat diubah menjadi KK+KB sehingga
menjadi *tidur kamar dan *tulis meja. Begitu juga, apabila
konstruksi itu berupa tanggung jawab, muda belia, mata air, jam tangan,
konstruksi itu tidak dapat diubah menjadi *jawab tanggung, *belia muda, air
mata (apakah arti sama, dengan mata air?), dan tangan jam.
Mungkin kita menjumpai
bentuk-bentuk goreng pisang, goreng tempe, rebus singkong, disamping
bentuk-bentuk goreng pisang, goreng tempe, rebus singkong. Mengapa
konstruksinya tidak tetap, masih bisa dibolak-balik? Sebelum menjelaskannya,
sekali lagi perlu ditegaskan bahwa bentuk-bentuk tersebut memang kata majemuk,
yang bisa dibuktikan dengan salah satunya, pembedan maknanya dengan
bentuk-bentuk parafrasenya. Bentuk pisang goreng apakah tidak bersearti
dengan pisang yang digoreng? Jelas tidak, sebab tidak setiap pisang yang
digoreng bisa disebut pisang goreng,;kue semacam lempeng-lempeng,
kripik pisang, atau sale adalah juga pisang yang digoreng, tetapi tetap
bukan pisang goreng.[13]
Persoalan kini kembali pada goreng
pisang. Bentuk semacam goreng pisang memang merupakan realitas tutur salah
satu dialek geografis bahasa Indonesia. Akan tetapi, bentuk ini, disamping
kurang dikenal oleh mayoritas dialek yang lain, dianggap tidak baku. Terlepas
dari soal itu, rasanya lebih rasional menerima bentuk pisang goreng sebagai
bentuk sendiri, dan bentuk goreng pisang sebagai bentuk tersendiri pula. Maka,
tetaplah kuat pendapat bahwa konstruksi kata majemuk tidak bisa dibolak-balik.[14]
Dilihat dari segi sifat
unsurnya, bentuk majemuk dalam bahasa Indonesia lebih banyak yang berunsur
bentuk-bentuk yang belum pernah mengalami proses morfologis. Misalnya kamar
kerja, terima kasih, jual beli, mata kaki, bola lampu, dan masih bamyak
lagi. Bentuk majemuk yang unsurnya sudah mengalami proses morfologis, khususnya
afiksasi. Bentuk membabi buta misalnya, adalah kata majemuk; ini
terbukti dari kepekatan susunannya, tetapnya urutan konstruksinya, dan barunya
arti yang ditimbulkan. Contoh lainnya adalah bertekuk lutut, memeras
keringat, melepas lelah, tertangakap basah, menepuk dada, dan terima
kalah.[15]
Sedangkan ciri kata majemuk menurut
Suhardi dalam bukunya Pengantar Linguistik Umumdijelaskan ada dua,
yaitu:
1.
Terdiri
dari dua kata atau lebih.
Contoh:
a)
Sapu
tangan
b)
Meja
makan
c)
Rumah
sakit dll
2.
Di
antara kata tersebut tidak dapat diselipkan kata lain.
Contoh:
Kata
rumah sakit dan adik sakit.
Kata
adik sakit di antaranya dapat disisipi kata petunjuk itu, kata
hubung yang dan kata nomina gigi. Dengan demikian, dapat disusun
kalimat berikut.
a)
Adik
itu sakit
b)
Adik
yang sakit
c)
Adik
sakit gigi
Berbeda
halnya dengan kata Rumah sakit. Tidak mungkin di antaranya disisipi kata
lain. Maka, tidak mungkin:
a)
Rumah
itu sakit
b)
Rumah
yang sakit
c)
Rumah
sakit gigi
Kata
yang di antaranya tidak dapat disisipi kata lain disebut kata majemuk.
Sementara bila dapat disisipi jenis kata lain, maka termasuk klausa. Ramlan
merumuskan ciri-ciri kata majemuk, sebagai berikut.
1)
Salah
satu atau semua unsurnya berupa pokok kata.
2)
Unsur-unsur/strukturnya
tidak mungkin dipisahkan atau diubah.[16]
3.
Jenis Kata
Majemuk
Kalimat
majemuk dapat dibentuk dari paduan beberapa buah kalimat tunggal. Dalam
pembentukannya, ada yang memerlukan kata penghubung, ada pula yang tidak.
Kalimat majemuk dapat dikelompokkan dalam empat jenis:
1.
Kalimat
majemuk setara, yaitu hubungan antar unsur-unsurnya setara atau sederajat.
a.
Kalimat
majemuk penjumlahan, ditandai dengan kata penghubung: dan, lalu, lagi.
b.
Kalimat
majemuk pilihan, ditandai dengan kata penghubung: atau.
c.
Kalimat
majemuk pertentangan, ditandai dengan kata penghubung: tetapi, melainkan.
2.
Kalimat
majemuk bertingkat, yaitu hubungan antar unsur-unsurnya tidak sederajat. Dalam
satu unsurnya ada yang menduduki induk kalimat, sedangkan unsur lainnya sebagai
anak kalimat. Contohnya:
a.
Kalimat
majemuk hubungan kenyataan, ditandai dengan kata sambung padahal dan sedangkan.
b.
Kalimat
majemuk hubungan pertentangan, ditandai oleh kata sambung walaupun,
meskipun, sekalipun, biarpun, dan kendati.
c.
Kalimat
majemuk hubungan pengandaian yang ditandai oleh kata sambung jika,
seandainya, dan andaukan.
d.
Kalimat
majemuk hubungan perbandingan yang ditandai oleh kata sambungibarat,
seperti, bagaikan, daripada, dan laksana.
e.
Kalimat
majemuk hubungan penyebaban yang ditandai oleh kata sambungsebab, karena, dan
oleh karena.
f.
Kalimat
majemuk hubungan akibat yang ditandai oleh kata sambungsehingga,
sampai-sampai, dan maka.
g.
Kalimat
majemuk hubungan cara yang ditandai oleh kata sambungdengan.
h.
Kalimat
majemuk hubungan waktu yang ditandai oleh kata sambungketika, sewaktu, dan
semasa.
i.
Kalimat
majemuk atributyang ditandai oleh kata sambungyang.
3.
Kalimat
majemuk campuran, yaitu gabungan antara kalimat majemuk setara dan kalimat
majemuk bertingkat. Sekurang-kurangnya ada tiga kalimat tunggal atau tiga
klausa. Contoh:
-
Masakan
ibu sudah matang ketika ayah datang dari kantor dan aku selesai mandi.
4.
Kalimat
majemuk rapatan, bagian-bagiannya dirapatkan. Hal itu terjadi karena kata-kata
atau frasa dalam bagian-bagian kalimat itu menduduki fungsi yang sama. Proses
perapatan dilakukan dengan cara menghilangkan salah satu fungsi kalimat yang
sama.
a.
Kalimat
majemuk rapatan subjek.
-
Nita
anak yang pandai.
-
Nita
anak yang berbakat.
Jadi:
Nita anak yang pandai dan berbakat.
b.
Kalimat
majemuk rapatan predikat
-
Aldi
sedang mendengarkan musik rock.
-
Haykal
senang mendengarkan musik rock.
Jadi:
Aldi dan Haykal senang mendengarkan musik rock.
c.
Kalimat
majemuk rapatan keterangan
-
Pada
hari libur, Siska senang berjalan-jalan.
-
Pada
hari libur, Romi lebih suka tidur.
Jadi: pada hari
libur, Siska senang berjalan-jalan, sedangkan Romi lebih suka tidur.[17]
[1] Dendy Sugono
(sd), Buku Praktis Bahasa Indonesia, Jilid I, Pusat Bahasa, Jakarta
Timur, 2009, hlm. v.
[2] Dendy Sugono, Mahir
Berbahasa Indonesia Dengan Benar, PT. Gramedia, Jakarta, 2009, hlm. 1
[3] Dendy Sugono, Op.
Cit.
[4] Yusi Rosdian
dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia di SD, Universitas Terbuka, 2014, hlm.
1.2
[5] Dendy Sugono, Berbahasa
Indonesia Dengan Benar, Puspa Swara, Jakarta, 2002, hlm. 141.
[6] Moh. Rosyid, Bahasa
Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, UPT UNNUS Press, 2004, hlm.
[7] Dendy Sugono
(sd), Buku Praktis Bahasa Indonesia, Op. Cit. hlm. 99.
[8] Masnur
Muslich, Tata Bentuk Bahasa Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, hlm.
57.
[9] Suhardi, Pengantar
Linguistik Umum, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2013, hlm. 113-114.
[10] Masnur
Muslich, Op. Cit. hlm, 59
[14]Ibid.,
[15]Ibid.,
[16] Suhardi, Op.
Cit. hlm. 114-115
[17]Yunita Fitriany
& Fatya Permata Anbiya, EYD & Kaidah Bahasa Indonesia, Trans Media
Pustaka, Jakarta Selatan, 2015, hlm. 260-262.
0 Response to "Komposisi "
Posting Komentar