Bakhil Menurut Ulama Nusantara

Bakhil
Bentuk Penafsiran M. Quraish Shihab Tentang Bakhil
Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan sifat bakhil, diantaranya yaitu :
1.      Surat Ali Imran ayat 180.

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا اَتَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّلَهُمْ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَللهُ مِيْرَاثُ السَّمَوَاتِ وَاْلَارْضِ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌا  (١٨٠)                                   

“ Seklai-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan keklak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Ali Imran : 180).

Ayat di atas menerangkan bawasanya lafadz( يَبْخَلُوْنَ )  mempunyai arti enggan melaksanakan tuntunan kewajiban, berkaitan dengan apa yang Allah anugrahkan kepada mereka seperti harta benda, atau ilmu, atau tenaga yang mereka peroleh dari karunia-Nya bukan dari siapapun selain-Nya menyangka, bahwa ia yakni kekikiran itu baik bagi mereka. Maka apa yang dikikirkan itu misalnya harta benda akan dikalungkan di leher mereka di hari kiamat, sehingga semua mengeteahui keburukan sifatnya. [1]

2.      Surat an-Nisa’ ayat 37.

الَّذِيْنَ  يَبْخَلُوْنَ  وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ  بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ النَّاسَ مَا اَتَهُمُ اللهُ  مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا (٣٧)

“(Yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia  yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan. “
Dari ayat di atas menerangkan bahwa lafadz يَبْخَلُوْنَ mempunyai arti tidak mau mengeluarkan hartanya kepada orang lain serta menyembunyikannya pengetahuannya dari orang lain. Mereka tidak hanya kikir tetapi juga terus menerus menyuruh orang lain berbuat kikir, baik dengan ucapan mereka menghalangi kedermawanan maupun dengan keteladanan buruk dalam memberi sumbangan yang kecil, bahkan tidak memberi sama sekali, dan terus menerus  menyembunyikan apa yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka dari anugerah-Nya, misalnya dengan berkata ketika diminta bahwa, “Aku tidak memiliki sesuatu”, atau menyembunyikan pengetahuan yang mereka miliki.[2]

 

3.      Surat at-Taubah  ayat 76.

فَلَمَّا اَتَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوْا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ (٧٦)

“Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling dan selalu menentang (kebenaran).”

Ayat di atas menerangkan bahwa lafadz بَخِلُوْا mempunyai arti enggan menyumbangkan harta benda yang dikaruniakan Allah untuk  hamba-Nya kepada orang lain yang membutuhkan. Dan memeaksakan diri berpaling dari ketaatan kepada Allah dan kewajiban menepati ikrar dan janji mereka.
Lafadz  ( بَخِلُوْا ) bakhilu / mereka kikir terambil dari kata ( بُخْلٌ ) bukhlun, yakni keengganan memberi. Pelakunya dinamai ( بَخِيْلٌ ( bakhil. Bahasa Arab menggunakan beberapa kata untuk menggambarkan tingkat kedermawanan dan tingkat keengganan memberi. Ada yang memberi tanpa diminta, ada juga yang memberi setelah diminta dan ada yang memberi setelah diajukan kepadanya permintaan yang mengundang rasa iba. Yang terbaik dalam hal ini adalah; yang memberi tanpa diminta sedang yang enggan memberi walau telah diajukan kepadanya permintaan yang mengundang rasa iba, itulah yang dinamakan Bakhil. Demikian penafsiran kata Bakhil menurut  ulama Nusantara
Bentuk Penafsiran Hamka Tentang Bakhil
Di dalam al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan sifat bakhil, diantaranya yaitu :
1.        Surat Ali Imran ayat 180.

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَا اَتَهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّلَهُمْ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَللهُ مِيْرَاثُ السَّمَوَاتِ وَاْلَارْضِ وَاللهُ بِمَاتَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌا  (١٨٠)                                   
“ Seklai-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan keklak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Ali Imran : 180).
Ayat di atas menerangkan bawasanya Bakhil mempunyai arti enggan memberikan barang sekedarnya untuk orang lain. Yang dimaksud Bakhil di sisini adalah orang yang merasa keberatan mengeluarkan zakat. Bukan hanya itu bahkan orang yang merasa berat berderma, berwakaf, atau menjamu tetamunya, memberi hadiah.[4]
Menurut riwayat Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan bakhil di ayat ini ialah sempelit atau degil dalam hal ilmu pengetahuan dan menyembunyikan ilmunya itu dan tidak mau memberikannya kepada orang lain yang memerlukan atau sembunyi-sembunyi dan pilih kasih.

2.        Surat an-Nisa’ ayat 37.

الَّذِيْنَ  يَبْخَلُوْنَ  وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ  بِالْبُخْلِ وَيَكْتُمُوْنَ النَّاسَ مَا اَتَهُمُ اللهُ  مِنْ فَضْلِهِ وَاَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِيْنَ عَذَابًا مُهِيْنًا (٣٧)

“(Yaitu) orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia  yang telah diberikan Allah kepadanya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir azab yang menghinakan. “
Dalam ayat di atas bahwa lafadz يَبْخَلُوْنَ mempunyai arti tidak mau megeluarkan harta dan tidak mau memberikan pengetahuannya kepada orang lain. Mereka menjadi bakhil karena cinta mereka telah tertumpah kepada harta itu saja. Kepada Allah yang mengkaruniakan harta, memreka tidak cinta lagi. Kepada  ibu-bapak, keluarga, tetangga dekat dan jauh, anak yatim dan orang miskin, merekapun tidak cinta lagi. Maka bakhil mereka ini telah mendekati kepada pipntu gerbang kufur.
Maka menyembunyikan apa yang telah diberikan Allah dari pada karunia-Nya, bukan saja bakhil tidak mau mengeluarkan harta, malahan lebih luas dari itu. Misalnya seseorang yang telah mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam perihal agama, tinggal di dalam satu desa atau negeri yang kedudukannya tidak mengerti agama, tetapi si alim tadi mau memberi ajaran kepada mereka itu. Dan inipun dinamakan bakhil. [5]

3.        Surat at-Taubah  ayat 76.
فَلَمَّا اَتَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوْا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُوْنَ (٧٦)

“Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling dan selalu menentang (kebenaran).”
Ayat di atas bawasanya lafadz  ( بَخِلُوْا ) mempunyai makna enggan memberi harta. Dari mulanya miskin kemudian mereka telah kaya. Dari sengsara mereka telah hidup gembira sebab harta telah ada. Dahulu hidup tersisih di tepi-tepi, sekarang sudah ke tengah, karena pengharapannya dikabulkan oleh Allah, meskiipun baru sebagian merekapun bakhil dengan Dia. Mulailah mereka lupa denga janji diwaktu merekamasih miskin. Dahulu berjanji dengan Allah, di diberikan sebagian kekayaan. Tetapi kian lama diapun lupa akan janji dan lupa bahwa yang menaikkannya dari lembah kemiskinan ialah Allah sendiri. Lalu dia merasa bahwa harta itu adalah kepunyaannya sendiri, cucur keringatnya dan terasa dan terasa enaknya mengumpul dan terasa berat megeluarkan. Kalau orang datang meminta pertolongan, mulailah dia enggan memberi. Mulaiilah dia mencari 1001 macam alasan buat mengelakkan diri daripada janji dengan Allah. Maka penyakit bakhil itu kian lama kian mendalam. Kian lama kian bosan, bahkan takut akan datang orang meminta. Dan merekapun berpaling. Kalau tadinya dia seorang yang merasa dirinya anggota masyarakat, sekarang oleh karena takutnya akan diminta, kian lama diapun kian berpaling menurutkan kehendak diri sendiri, dan melupakan janji dengan Allah dan melupakan hubungannya dengan masyarakat dan merekapun acuh tak acuh lagi.[6] 
Mulanya bakhil, sesudah itu berpaling dan sesudah itu tak acuh lagi. Tidak perduli lagi kepada orang lain. Fikirannya hanya bertumpah kepada suatu soal saja, yaitu mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Kemudian itu menarik lagi menjadi tak acuh. Tidak tergerak lagi hatinya bila terdengar seruan Allah. Tidak diteguhinya janji bahwa dia akan menjadi orang pemurah, suka bersedekah dan tidak diteguhinya lagi janji bahwa dia akan menjadi orang yang shalih.[7]


[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 2, Lentera Hati, Jakarta, 2006, Cet. Ke-VII, hlm. 293.
[2]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang, 2006, Cet. ke- VII, hlm. 441.
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Lentera Hati, Tangerang, 2006, Cet. ke- VI, hlm. 659-660.
[4] Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ IV, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, Cet. Ke- 3, hlm. 188-189.
[5]  Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ V, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1983, Cet. ke- 3, hlm. 84.
[6] Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ X, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1985, hlm. 293.
[7] Ibid.
http://ulumjuhik.blogspot.co.id/

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Bakhil Menurut Ulama Nusantara"

Posting Komentar